Bijak Bermedia Sosial - Perlukah Mengunggah Semua Hal?

Bijak Bermedia Sosial - Perlukah Mengunggah Semua Hal?

Mengapa kembali menulis tentang sosial media? Tanyaku pada diriku sendiri. Sebenarnya, sudah ada dua artikel tentang sosial media yang sudah pernah diterbitkan di chindycerita.com, yaitu: Rasa Cemas dan Insecure karena Media Sosial dan Demi Sosial Media. Namun, mengapa menulis tentang sosial media lagi? 

Tidak ada alasan spesifik sebenarnya, hanya saja tiba-tiba topik ini berlalu lalang di kepala. Tahun 2021 menjadi tahun tersering aku menonaktifkan (deactivate) salah satu sosial mediaku, yaitu Instagram. Kalau dijumlah, 10 kali off dengan total 30 hari mungkin ada. Pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, dan timnya di platform ini telah melakukan riset dan mengetahui bahwa sosial media Instagram ini membawa dampak yang tidak sehat (toxic) bagi para penggunanya. Ditemukan dokumen dan presentasi internal dalam perusahaan Facebook yang berjudul: “Instagram Memperburuk Masalah Citra Tubuh untuk Satu dari Tiga Remaja Perempuan,” dan “Remaja Menyalahkan Instagram atas Peningkatan Tingkat Kecemasan dan Depresi.” Studi internal Facebook kemudian menunjukkan bahwa: terdapat 13% pengguna remaja di Inggris dan 6% di Amerika remaja yang melaporkan bahwa di dalam pikiran mereka, muncul pemikirian untuk bunuh diri.

Jadi, dampak dari penggunaan sosial media yang berlebihan sangat serius, bukan? Banyak kejadian yang menggelitikku saat bermain sosial media. Beberapa di antaranya adalah saat aku melihat bagaimana kebanyakan orang memposting kedekatan yang sangat erat antara mereka dengan orang lain (baik teman, keluarga, dan pasangan, misalnya suami atau istri), padahal dalam kehidupan nyata, mereka sebenarnya tidak sedekat itu dengan orang yang dipost tersebut. Bahkan, beberapa orang dengan gamblangnya menceritakan keburukan orang tersebut padaku, padahal di sosial media, mereka menampilkan betapa akrabnya mereka.

Sumber: https://www.furtherfood.com/digital-detox-tips-mindfulness-social-media-age/

Pengikut Trending

Selanjutnya, pengguna sosial media mempunyai kecenderungan untuk mengikuti apapun yang sedang trending. Contohnya adalah fitur "Add yours" di sosial media Instagram. Tantangan atau challenge untuk menambahkan postingan berdasarkan topik "Add yours" telah memakan korban, di mana ada seorang wanita menjadi korban penipuan karena dia mengunggah nama panggilan yang hanya diketahui orang terdekatnya di Instagram. Untuk yang belum tahu beritanya, bisa baca selengkapnya di sini

Hanya Posting Momen Happy?

Sisi lain tentang bermedia sosial yang menjadi keresahanku adalah kewajiban untuk memposting semua momen happy. Tidak ada yang salah saat ada keinginan untuk mengunggah momen bahagia kita di media sosial, tapi kita perlu mempertimbangkan respon psikologis di dalam diri kita. Marissa Anita, seorang jurnalis, artis, dan figur publik yang adalah idolaku, tidak mempunyai akun Instagram. Dalam wawancaranya, dia bercerita ketika dia aktif menggunakan media sosial Path di tahun 2014, dia mulai terganggu dengan respon jempol dan hati yang diberikan pengikutnya. Di dalam dirinya muncul pertanyaan "Gue merasa kalau gue posting yang ini, kemarin gue dapet hati, kalau gue posting yang ini, kok tidak dapat hati ya?". 

Dia pun mulai merenung, "Gue jadi mengubah perilaku gue, kalau gitu gue posting yang gini-gini aja deh biar mendapatkan hati karena memang manusia itu kan ingin disukai, dan rasanya enak gitu kalau disukai, tapi kalau proposinya sudah kelebihan jadi tidak sehat kan? Akhirnya gue memutuskan untuk menutup pintu, dan kalau gue kangen sama temen, ya gue hubungin mereka, gue ajak ngopi, ketemu dan ngobrol langsung. Dan gue merasa cara ini jauh, jauh lebih bermakna." 

Meskipun aku tidak se-ekstrim Marissa Anita dengan langsung menonaktifkan sosial mediaku, aku membatasi diri untuk membuka sosial media dan mengunggah yang seperlunya saja. Alasannya sederhana: tidak semua orang perlu mengetahui seluruh kisah hidupku. Tapi, untuk teman-teman yang suka posting, aku pun sebenarnya seperti kalian kok. Manusia umumnya punya kecenderungan membagikan momen bahagia atau momen terbaik di dalam hidup mereka. Sayangnya, tidak semua follower-ku punya pola pikir yang positif, sehingga terkadang aku mendengar omongan tidak enak tentang apa yang aku posting. Pada akhirnya, aku semakin belajar untuk selektif dalam bercerita. Tidak semua hal dapat dibagikan dengan 'apa adanya' kepada khayalak ramai. Menjadi bijak saat menggunakan media sosial sangatlah penting, baik saat membagikan maupun saat melihat postingan teman-teman kita.

Sumber:

https://www.theguardian.com/commentisfree/2021/sep/18/facebook-instagram-zuckerberg-teenagers

https://harpersbazaar.co.id/articles/read/11/2020/13876/alasan-marissa-anita-tak-memiliki-akun-media-sosial-dan-kenikmatan-yang-ia-miliki-sekarang

Comments

  1. Memang harus dipilah2 sih ya mba.. aku sendiri menghindari banget utk posting yg bersifat marah, curhat, sedih.. pernah, tapi itu kalo udh marah banget levelnya 😅. Cuma aku usahakan juga jangan lagi.

    Makanya aku cendrung posting yg bahagia2 aja. Itupun ga semuanya, kalo sifatnya pribadi, aku ga mau, misalnya suami KSH kejutan, itu kayaknya buat sendiri aja deh 😄. Tapi momen liburan, tempat yg didatangin, kuliner yg dicoba, ga ada salahnya utk sharing, Krn bisa jadi akan banyak org yg tertarik utk coba.

    Intinya memang pinter2 kita aja dalam memposting dan memilih temen di medsos 😅. Yg toxic, hempaskan ajalah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halooo, mba Fanny. Aku setuju bangeettt kalau sharing2 pengalaman kita itu bisa bermanfaat untuk orang lain yang mau cobain :D Kita perlu pinter2 milih yang baik untuk diri sendiri dan orang lain. Ditunggu yaaa sharing2nya mba Fanny...

      Delete

Post a Comment