Rezeki Dipatuk Ayam

Rezeki Dipatuk Ayam

Bekerja di perusahaan besar atau start-up ternama adalah impian para milenial saat ini, termasuk aku (dulunya). Namun, sejak pandemi Covid-19 melanda dan terjadi PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) di mana-mana, ada banyak pemikiran lamaku yang berubah. Salah satunya adalah perspektifku tentang pekerjaan. Sebelumnya, mulai tahun 2016 hingga 2020, aku bekerja sebagai guru dan pegawai di beberapa lembaga swasta. Kemudian aku memutuskan untuk melanjutkan studi S2-ku secara daring di rumah. Selama menjalani studi di semester pertama, aku sambil membantu orang tuaku menjaga usaha mereka. Setelah semester berakhir, aku memiliki rencana untuk kembali merantau ke Jakarta dan mengambil beberapa pekerjaan part-time. Namun, dengan beberapa pertimbangan, aku memutuskan untuk fokus membantu orang tuaku saja di rumah.

Aku bersyukur karena aku tidak jadi mengambil keputusan untuk merantau lagi di tengah pandemi. Mengapa? Karena setelah fokus membantu usaha orang tua, aku belajar banyak hal baru setiap hari. Yap, kamu tidak salah baca: aku belajar hal baru setiap hari. Tentu saja hal-hal tersebut tidak bisa aku dapatkan ketika aku bekerja di kantor. Oleh karena itu, aku ingin membagikan beberapa pelajaran hidup tersebut melalui tulisanku. 

Bangun Kesiangan, Rezeki Dipatuk Ayam

Berbeda dengan kerja kantoran yang jam masuk dan pulang kerja sudah diatur oleh perusahaan, membuka usaha sendiri memiliki jam yang lebih fleksibel. Bila jam mulai kerja adalah jam 7 pagi, dan kita ada urusan mendadak sehingga baru bisa mulai kerja jam 7.15, tidak ada yang akan memarahi kita. Tentu saja alasannya karena kita adalah bos dari usaha itu sendiri. Namun, bukannya menjadi fleksibel dan memulai kerja agak lebih siang, orang tuaku malah mulai bekerja pukul 5 pagi! Bagi mereka, kerja keras dan konsistensi adalah kunci utama untuk menjadi profesional. Selain itu, mamaku selalu berkata bahwa "kita harus bangun pagi kalau tidak mau rezeki kita dipatuk ayam". Tentu saja prinsip ini tidak berlaku bagi semua orang ya... Market atau pangsa pasar dari beberapa barang dan/atau jasa ada di waktu siang/sore/malam hari.

Intinya... kalau ayam saja bisa rajin dan konsisten berkokok di pagi hari, mengapa kita sebagai manusia yang berakal budi tidak bisa? Dari pengalamanku bekerja selama 3 tahunan, usaha tidak akan mengkhianati hasil. Jadi, ketika kita sedang sehat secara fisik dan emosional, mari kita bekerja dengan rajin dan konsisten agar rezeki kita tidak dipatuk ayam.


Tidak Bisa Mengubah Sifat Orang Lain 

Karakter dan sifat masing-masing orang tentunya berbeda-beda. Dengan latar belakang keluarga, pola pengasuhan, dan lingkungan yang bervariasi, setiap pribadi menumbuhkan karakter dan pola pikir tertentu. Beberapa orang yang mengenalku dengan baik tentu mengetahui pemikiranku yang cukup berbeda dari umumnya. Kerap kali aku mencoba menyampaikan masukan kepada beberapa orang yang (aku kira) akan dianggap bermanfaat. Alih-alih bermanfaat, pandangan aneh malah ditujukan kepadaku. Awalnya aku tidak terlalu menggubris. Namun ketika respon yang sama terus aku terima, aku menyadari bahwa: aku tidak bisa mengubah pola pikir/karakter/sifat orang lain.  

Saat bekerja, apabila ada pembeli yang inginnya A dan tidak mau opsi lain, aku ikuti saja. Atau, ketika ada pembeli yang cara bicaranya suka menggunakan nada tinggi, aku akan cuek dan tetap menjadi diri sendiri saja (tanpa perlu menaikkan nada bicaraku juga). Atau, ketika ada pembeli yang suka tempo lambat, aku bisa sambil mengerjakan hal lain sambil menunggunya selesai berbelanja. Pada akhirnya, aku belajar beradaptasi dengan karakter yang bermacam-macam tanpa berekspektasi kalau sifat yang telah melekat itu akan berubah.

Belajar Melayani Apapun Kondisi Hati

Bulan Januari hingga Februari 2021 adalah bulan-bulan yang penuh ketidakpastian. Hampir setiap hari kita dihadapkan dengan berita pandemi Covid-19 yang belum kelihatan ujungnya. Meski demikian, detik terus berdenting, waktu tidak terhenti dan menunggu kita untuk bangkit dulu baru berjalan lagi. Pekerjaanku saat ini menuntutku untuk bertemu dengan orang-orang dan melayani dengan ramah. Ketika mood sedang bagus, menjadi ramah sangatlah mudah! Tapi... ketika aku baru menerima berita duka dari 3 teman di Jogja yang berpulang (Baca: Turut Kehilangan) atau ketika ketakutanku secara tiba-tiba menghantuiku, aku perlahan kehilangan fokus. Mama dan Papa adalah role model (panutan) sejatiku. Aku melihat konsistensi mereka untuk terus melayani dengan sepenuh hati, terlepas kondisi hati yang naik turun. 

Apakah mudah untuk tidak moody? Setelah terus melatih diri, jawabannya sama: tidak mudah. Selama aku terus mengingat motivasi utamaku bekerja (dan berdoa agar diberi kekuatan dan fokus), aku masih terus melangkah dan melayani hingga hari ini.


Demikian refleksi singkatku. Semoga ada sesuatu yang kamu bisa dapatkan ya...
Soli Deo Gloria.

Comments

  1. Semakin dewasa,dan sabar ya..chindy,semoga ayamnya bertelur aja,gak mematuk

    ReplyDelete
  2. Refleksi mendalam yang dikemas dengan penulisan yang sangat bagus, pembaca jadi turut merasakan apa yang disampaikan dalam tulisan ini.

    ReplyDelete
  3. Chindy thank you so much for this inspiring sharing. Personally aku paling ngena di poin kedua, di mana aku harus belajar kalau nggak semua orang bisa punya pemikiran yang sama dengan kita. Dan kalaupun mungkin mereka nggak bisa terima pendapat kita bukan berarti pendapat kita pasti yang salah atau terdengar bodoh, tapi mungkin memang berbeda pandangan saja.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masamaaa, Sharon. Thank you for sharing your thoughts here <3

      Delete

Post a Comment