Perjalanan Menjadi Seorang Vegetarian - Part 2

Perjalanan Menjadi Seorang Vegetarian Part 2

Memiliki Kesadaran Penuh akan Apa yang Aku Makan 



Terima kasih untuk yang sudah mampir di Perjalanan Menjadi Seorang Vegetarian - Part 1.
Terima kasih untuk waktunya! Saat menulis Part 1, aku tahu kalau tulisanku tidak akan bisa menjangkau banyak orang karena "topik tentang vegetarian itu membosankan, Chin! YOLO gitu lhooo - You Only Live Once. Kalau bisa menikmati hidup dengan makan apa aja yang enak, mengapa harus makan sayur aja?" Tenang tenang... Tulisan ini tidak akan membahas pengorbanan para binatang yang kita makan atau keadilan bagi para binatang - a big No - karena hal-hal tersebut bukan kapasitasku. Aku hanya akan berbagi mengenai pentingnya menyadari penuh apa yang kita makan dengan menyederhanakan ilmu yang aku dapat dari seminar Eating with Impact. Percayalah, setelah membaca artikel ini, kamu tetap bisa makan daging.

Fakta atau Mitos: Harus Makan Daging untuk Asupan Protein

Narasumber utama di seminar itu, Dr. Susianto Tseng (President of Vegan Society Indonesia) alias si Dokter Tempe, menjelaskan bahwa makanan yang mengandung kedelai seperti tahu dan tempe memiliki kandungan protein yang lebih unggul dibandingkan kandungan protein dalam daging. Yang dimaksud dengan lebih unggul di sini bukan hanya tentang angka ya... Karena bila kita lihat perbandingan secara angka di bawah ini, memang protein tempe masih di bawah daging.

Sumber: Instagram.com/inthefitnesszone

Namun, setelah mencari tahu lebih dalam, aku terkagum sendiri dengan keajaiban gizi tempe dan teman-temannya. Bila kamu perhatikan tabel di bawah ini, coba bandingkan gizi dari makanan berbahan dasar tanaman VS gizi dari daging. 

Sumber: https://www.pinterest.com/

Tempe dan teman-temannya jauh lebih bermanfaat bagi tubuh. Sudah mendapatkan protein yang tinggi, kamu juga memenuhi kebutuhan serat, vitamin C, zat besi, dan kalsium - NOL (0) kolesterol pula. Ternyata, tempe dan sayuran sekeren itu kandungan gizinya. Jangan lupa, harga tempe sangat murah - 5.000 rupiah sudah cukup untuk dimakan 2 kali - sedangkan berapa uang yang harus kamu bayarkan ketika membeli daging? Apakah uang yang dikeluarkan setara dengan kandungan gizi yang diterima oleh tubuh?

Empat Sehat Lima Sempurna  Isi Piringku

Berkat seminar ini, aku jadi tahu kalau Kementerian Kesehatan tidak lagi mendasarkan gizi yang seimbang pada pedoman Empat Sehat Lima Sempurna, melainkan Isi Piringku. Dokter Tempe juga ikut terlibat dalam penyusunan pedoman baru ini. Pedoman Isi Piringku dicetuskan pada tahun 2018. Mengapa empat sehat lima sempurna tidak lagi sesuai dengan kebutuhan gizi seimbang kita? Karena porsi makanan tidak diatur didalamnya. Tanpa memperhatikan porsi - semisal porsi nasi banyak, tetapi lauk dan sayurnya sedikit saja - tidak akan terjadi keseimbangan gizi. Begitupun dengan susu yang disebut sebagai lima sempurna, hal ini tidak berlaku bagi orang-orang yang memiliki intoleransi laktosa.

Yuk kenalan dengan pedoman Isi Piringku. Konsep ini merupakan satu piring makan yang terdiri dari 50% buah & sayur dan 50% karbohidrat & protein (selengkapnya bisa dilihat di gambar di bawah). Jadi, masyarakat Indonesia diharapkan mempunyai gizi yang lebih seimbang dengan membatasi konsumsi karbohidrat (nasi/roti/mie/kentang) dan lebih banyak mengonsumsi serat dan vitamin. Tujuannya sederhana - agar angka pasien diabetes dan obesitas di Indonesia dapat berkurang. 

Sumber: http://www.p2ptm.kemkes.go.id/


Membantu Mengurangi Pemanasan Global

Kamu mungkin bertanya: apa hubungannya daging dan pemanasan global? Bukannya penyebab utama pemanasan global adalah polusi hasil industri dan transportasi? Yuk kita lihat hasil penelitian ini.

Sumber: https://www.bbc.com/

Menurut penelitian J.Poore dan T.Nemecek dengan judul Reducing food's environmental impacts through producers and consumers yang diterbitkan oleh University of Oxford di tahun 2018, produksi makanan hewani bertanggungjawab atas 26% emisi gas rumah kaca yang berkontribusi dalam pemanasan global. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa di antara emisi gas rumah kaca seluruh produksi makanan, produk makanan hewani memberi kontribusi 58% emisi gas rumah kaca.

Menurut laporan PBB divisi Food and Agriculture Organization (FAO), 30% dari tanah di bumi terpakai untuk peternakan, di mana pengosongan lahan untuk pembuatan padang rumput bagi ternak menghasilkan karbon dioksida yang sangat tinggi. Masih ingat kejadian kebakaran masif hutan Amazon yang terjadi di bulan Oktober 2019? Salah satu penyebab kejadian tersebut adalah untuk pengosongan lahan. Selain itu, persediaan air kita juga menjadi ancaman. Peternakan sapi/kambing/lembu/babi/kuda memerlukan 70% air yang tersedia bagi manusia. Dengan meningkatnya kebutuhan daging tersebut, semakin berkurang juga ketersediaan air untuk kebutuhan pertanian dan air minum manusia. Coba bayangkan kalau kita bisa mengurangi konsumsi daging sapi/kambing/babi? Secara tidak langsung, kita bisa mendukung mengurangi pemanasan global.

Beberapa solusi telah dikembangkan untuk tetap bisa menikmati daging tanpa merusak lingkungan, salah satunya adalah plant-based meat atau daging berbahan dasar tanaman. Sayang sekali di Indonesia belum ada yang harganya cukup terjangkau. Bila kamu kesampaian pergi ke luar negeri, misalnya US/Australia/Jerman/Taiwan/Korea/Dubai atau beberapa negara lainnya, kamu bisa membeli / mencoba produk beyondmeat.com yang harganya lebih terjangkau dari daging asli.

Sumber: https://www.happywednesday.id/


Tiga poin itulah yang mendorongku untuk mengubah pola makan. Selain berbagi informasi, tulisan ini juga menjadi catatan bagi diriku sendiri agar boleh selalu menjaga komitmen pola hidup sehat ini. Dua kalimat yang selalu ku pegang teguh adalah:
Umur memang tidak ada yang tahu, tetapi menjaga kesehatan adalah keharusan. Kalau bisa berdampak melalui pola makan, mengapa tidak dilakukan?

Sumber:
https://akurat.co/id-338404-read-tempe-vs-daging-mana-yang-lebih-unggul
https://www.halodoc.com/bukan-4-sehat-5-sempurna-isi-piringku-pecahkan-rekor-muri
https://theaseanpost.com/article/eating-less-meat-can-fight-climate-change

Comments