Belajar Pantang Menyerah dari Orang Tua

Belajar Pantang Menyerah dari Orang Tua

 Pandemi Covid-19 sudah berlangsung selama hampir 10 bulan. Waktu 10 bulan ini terasa sangat lambat. Aku serasa dibuat berhenti sejenak dari semua hal yang ku kejar. Dulunya, aku berjalan dengan sangat cepat dan terarah. Sebelum pandemi, aku sangat tidak nyaman beraktivitas tanpa rencana. Misalnya... ketika aku mengerjakan skripsi, aku mematok kapan aku mulai dan kapan harus selesai. Ketika aku bekerja sebagai guru, aku sudah mempersiapkan materi mengajar maksimal 1 hari sebelumnya. Ketika aku mengubah karirku menjadi seorang konsultan pendidikan dan diberi target oleh perusahaan, aku tidak sekedar bekerja keras tanpa rencana. Aku membuat strategi apa dan bagaimana aku harus membentuk cara kerjaku agar target tersebut tercapai. Menjadi well-planned atau terarah adalah suatu keharusan bagiku, karena dengan itu, aku selalu bisa mempersiapkan diri untuk faktor X yang mungkin membuat rencanaku berjalan tidak mulus.

Namun aku tidak menyadari 1 hal: membiasakan diri untuk selalu terarah ternyata membuat diriku sendiri terluka. Momen 'berhenti sejenak' ini membuatku teringat kembali tentang kata pepatah 'manusia boleh berencana, tapi Tuhan yang menentukan'. Bulan Juli 2020 harusnya menjadi starting point atau titik awal aku memulai suatu perjalanan baru. Perjalanan ini sudah mulai aku pupuk dari 3 tahun lalu, bahkan sebelum aku mengerti apa itu pandemi. Akhirnya, aku pun ikhlas melakukan perjalanan itu secara daring. Apakah pengalamannya sama antara tatap muka dan daring? Tentu saja tidak sama. Ada banyak pengorbanan yang sudah dilakukan, dan belum terlihat titik terang kapan aku dapat menjalani perjalanan itu secara tatap muka. Awalnya, memang terasa sulit untuk menerima kenyataan yang serba tidak pasti saat ini. Namun, dengan berjalannya waktu, semangat mulai terkumpul kembali karena aku belajar dari kedua orang tuaku yang tidak pernah menyerah dengan situasi. Mereka tidak pernah mengajariku secara langsung, tapi aku sendiri melihat bagaimana mereka menjalani hari-hari mereka dengan sebaik mungkin. 'Sebaik mungkin' yang seperti apa?

Momen 'berhenti sejenak' ini membuatku teringat kembali tentang kata pepatah 'manusia boleh berencana, tapi Tuhan yang menentukan'.


Tidak Mengeluh

Kedua orang tuaku memulai hari mereka pukul 5 pagi: bangun - bersiap diri - mulai bekerja jam 5.30 pagi. Mereka selesai bekerja jam 5.30 sore, dengan jeda 1,5 jam istirahat di siang hari. Jadi, anggap saja total jam kerja orang tuaku adalah 10 jam/hari, dan mereka tidak pernah mengeluh! Sangat luar biasa! Sebagai anak muda, aku sangat kagum pada semangat mereka, tapi aku juga malu dengan diri sendiri yang masih sering mengeluh akan perkara-perkara kecil. Bahkan di saat pandemi dan pekerjaan mereka terdampak, mereka tetap menjalani hari-hari mereka dengan mindset yang sangat dewasa dan aksi yang maksimal. 

Fokus Menjalani Hari Ini

Meski kedua orang tuaku adalah tipikal yang well-planned juga, mereka tidak menunjukkan rasa cemas akan masa depan. Setiap kali aku mulai khawatir akan masa depan, mama selalu mengingatkanku untuk tidak terlalu memusingkan hal tersebut, selalu miliki pengharapan, dan berserah pada Tuhan. Cukup teori ya memang, tapi karena mama dan papa mempraktekkannya dan aku melihatnya setiap hari, aku secara tidak langsung belajar untuk memanfaatkan hari-hariku dengan semaksimal mungkin. Memiliki perencanaan memang baik, tapi kalau hanya berencana saja dan tidak ada aksi langsung, aku pun tidak melakukan progress apapun. 

Sebelum menyadari hal ini, aku sering merasa menyesal dengan keputusanku berhenti bekerja dan menjalani studi daring. Aku menyalahkan diriku sendiri karena masa depanku menjadi tidak jelas karena keputusan itu. Namun, setelah banyak ngobrol dengan mama, aku mulai mengarahkan fokusku ke kehidupanku 'saat ini', bukan 'nanti-nanti'. Dengan hanya fokus menjalani satu hari demi satu hari, aku menjadi tidak terlalu tertekan lagi dengan ekspektasiku akan masa depan. Aku tidak lagi merasa menyesal, bahkan aku bersyukur karena aku berhenti bekerja dan melanjutkan studi sesuai rencana.


Inilah renungan singkat terakhirku sebelum tahun 2021 tiba.

Dear Mama Papa, terima kasih karena sudah mengasihiku apa adanya. Terima kasih untuk pelajaran yang sudah diajarkan padaku tanpa secara langsung mengutarakannya. Terima kasih karena tidak pernah menyerah dengan situasi dan selalu memberikan usaha terbaik setiap hari. Aku terus belajar dari Mama Papa hari demi hari. Kiranya kasih Tuhan selalu menyertai. 

Comments

Post a Comment